Pulau Tangkil bisa jadi pilihan untuk berwisata pantai dengan ragam pilihan olahraga air yang menantang. Objek wisata di Teluk Lampung yang dikelola Tangkil Resor tersebut menyediakan arena bertualang bagi keluarga dengan ongkos murah meriah. Salah satunya sensasi parasailing yang satu-satunya di Lampung.
Pada Minggu, 7 September 2014, kami sekeluarga berwisata ke pantai, setelahlimatahun lebih tak mengunjungi pantai-pantai di Teluk Lampung. Selama ini kami kurang tertarik ke pantai-pantai di Teluk Lampung karena membosankan, bahkan airnya pun kotor banyak sampah.
Tapi seorang teman menyarankan untuk sesekali menengok Pulau Tangkil, tempat wisata baru yang mulai dibuka sejak awal Juni 2014 lalu. Tertarik dengan “promosi” sang teman, akhirnya kami berangkat. Keluarga kami berlima, ditambah sekeluarga tetangga kami dengan empat anggota.
Dari Perumnas Waykandis, Bandarlampung, dengan mengendarai dua mobil, kami menuju Pantai Mutun yang secara geografis sekarang masuk Kabupaten Pesawaran. Pagi itu jalanan dari Tanjungkarang-Telukbetung ke arah TPI Lempasing ramai lancar. Syukurlah tidak macet. Sebab, pada hari-hari libur rute ke arah itu biasanya macet.
Setelah melewati TPI Lempasing, terdapat sejumlah penunjuk arah menuju Pantai Mutun dan Pulau Tangkil. Sekitar 30 menit kemudian kami tiba di Mutun. Kami memarkir mobil berjajar dengan belasan mobil yang lebih dulu datang. Ongkos parkir Rp15.000.
Anak-anak segera berhamburan ke pantai, disambut para nelayan dengan perahunya yang berderet di sekitar dermaga. Setelah tawar-menawar, akhirnya naik perahu dengan ongkos Rp10.000 per orang untuk pergi dan pulang.
Jarak tempuh dari Mutun ke Pulau Tangkil hanya sekitar 10 menit. Pulau Tangkil keseluruhan luasnya sekitar 12 hektar itu. Pemandangannya yang indah dengan pepohonan di bagian belakang rimbun, masih menghutan. Lokasi wisata yang saat ini baru memanfaatkan lahannya sekitar 3 hektar. Ditandai dengan gapura dari susunan batu yang di belakangnya berderet pondokan.
Setelah berlabuh di pulau kami membayar tiket masuk Pulau Tangkil, seorang Rp5.000. Kami pun menyewa dua pondokan, masing-masing Rp100.000. Setelah ganti pakaian, anak-anak kami segera mencebur ke laut. Sementara kami para orang tua hanya mengawasi dari pondokan sambil jeprat-jepret kamera.
Airnya biru jernih, pasirnya putih halus yang saat itu pukul 09.00 pagi dan tidak terik. Baru ada puluhan pengunjung, ada yang asyik dengan ban pelampung, beberapa sibuk mendayungkano, beberapa lainnya berendam sambil bercengkerama dengan balita mereka.
Anak-anak kami menyewa kano, harganya Rp50 ribu. Berganti-ganti mereka belajar mendayung, memutar ke sanakemari. Sekitar satu jam mereka tertawa-tawa, terjebur, dan otot-otot pun mengalami peregangan. Berikutnya mereka memilih permainan banana boat, sewanya Rp150 ribu dengan kapasitas 6 orang.
Mereka ditarik speedboat, pertama pelan-pelan, setelah beberapa putaran makin kencang dan sangat kencang. Mereka kegirangan pada saat memutar dengan tubuh miring. Tawa mereka memecah kesunyian. Puncaknya, mereka menjerit bersamaan ketika banana menukik dan semua terlempar ke laut. “Lagi, lagi!” pekik salah satu anakku yang baru kelas 4 SD. Dan mereka pun mengulang menikmati sensasi lemparan banana itu dua-tiga kali.
Setelah istirahat sejenak, selanjutnya mencoba permainan perahu donat. Sewanya lebih murah, Rp125 ribu untuk 5 orang. Jerit dan tawa anak-anak pun makin kencang ketika menikmati flying fish (ikan terbang). Badan mereka melayang di atas permukaan laut bersama perahu karet tersebut. Sewanya memang lebih mahal, Rp175 ribu juga untuk 5 orang.
Anak kami pun ingin menjajal sensasi naik parasailing. Dengan sewa Rp150 ribu untuk dua orang, anak-anak kami terbang di atas laut selama sekitar 10 menit. Inilah petualangan yang menurut mereka sangat mengesankan.
“Parasailing di Pulau Tangkil ini baru satu-satunya di Teluk Lampung. Sewanya juga paling murah dibandingkan dengan di pantai-pantai lain di Indonesia,” begitu penjelasan salah seorang penjaga pantai di Tangkil Resor.
Ketika jarum jam menunjuk angka 12.00 anak-anak kami istirahat. Kami pun memesan makanan: ayam goreng kremes dan nasi timbel komplet di Tangkil Resto. Kami makan dengan lahap, selain lapar masakannya juga sedap.
Bahkan, ketika Manajer Resto menawari kami untuk menjajal aneka seafood bakar, tidak kami tolak. Masih banyak menu lainnya yang sedap-sedap di Tangkil Resto. “Jadi, kalau wisata ke sini tak perlu repot membawa makanan dari rumah,” kata manajer itu.
Usai salat di musola yang bangunannya terbuat dari bambu, anak-anak kembali melanjutkan untuk terjun ke laut lagi. Hampir semua wahana dicoba, termasuk mengemudikan jetsky. Tampaknya mudah, tapi beberapa kali tersendat dan terguncang ditabrak ombak.
Masih ada beberapa wahana yang belum mereka coba, yaitu menyelam dan memancing. Padahal, biaya untuk snorkling sebenarnya tidak mahal. Konon, banyak yang bisa kita nikmati di bawah laut, baik ragam ikan maupun karang. “Nanti lagi, kalau kamu pulang ke Lampung lagi, kita coba semua,” kataku kepada anak-anak.
Menjelang Magrib, kami pun pulang. Kami menelepon sang nakhoda perahu untuk menjemput. Wisata sehari di Pulau Tangkil kali ini benar-benar membuat saya puas. Dengan modal kurang dari Rp1 juta, kami dua keluarga bisa bersenang-senang dan bertualang di laut ditambah perut pun kenyang.
Pulau Tangkil memang cocok untuk wisata bersama keluarga, karena tersedia banyak wahana untuk anak-anak dan remaja. Kalau tak ingin bertualang dengan water sport, bisa juga sekadar piknik bersama keluarga dengan menyewa pondokan dan bermain air dan membangun istana pasir sepuasnya. See you next time, Pulau Tangkil. We love Tangkil Island. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar